Tuesday, January 5, 2016

HUKUM HINDU


BAB I
PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang dapat meliputi dari segala aspek permasalahan yang terjadi di dunia. Terutama dalam permasalahan Hukum yang melimpah ruah di Negara ini (INDONESIA) khususnya hukum yang ada di bali. Sistem hukum yang ada di bali kian lama kian menyusut,hal ini dapat di sebabkan oleh individu manusia itu sendiri,secara analisis Hukum yang bertujuan tidak saja mengatur lembaga antar manusia untuk menciptakan kebahagiaan duniawi tetapi juga bertujuan untuk menjamin kesejahteraan rohani.
Undang-undang atau hukum menjamin keamanan dan kehidupan setiap individu dalam masyarakat apabila undang-undang itu atau Hukum itu di taati dan di patuhi. Untuk itu harus ada adanya kesadaran hukum dengan mengenal Hukum itu sebaik-baiknya.Salah satu dari fungsi Hukum pada usaha untuk pencegahan timbulnya kesewenangan dalam masyarakat melalui norma-norma yang ada pada masyarakat itu di atur dan kalau perlu di paksa supaya manusia mau tunduk melalui kekuasaan hakim atau penguasa.Berbicara tentang Hukum, maka pikiran kita mungkin akan langsung tertuju pada undang-undang atau peraturan tertulis lainnya. Padahal sesungguhnya, hukum mempunyai begitu banyak aspek yang terdiri dari jauh lebih banyak komponen atau unsure lainnya, seperti filsafat hukum, sumber hukum, kaedah hukum,penegakan hukum, pelayanan hukum,dan lain sebagainya
    1. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah dari makalah ini adalah:
      1. Apakah perlu mempelajari Hukum?
      2. Bagaimana keberadaan dan Penataan Hukum Hindu di Indonesia?
      3. Apa Eksistensi Hukum Hindu di Indonesia?

    1. Tujuan

Adapun Tujuan dari penulisan Makalah ini yakni:
      1. Untuk dapat memahami arti dan fungsi dari Hukum itu sendiri.
      2. Untuk dapat mengimplementasikan Hukum itu di kehidupan bermasyarakat.
      3. Untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah permasalahan masyarakat.













BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Perlunya Mempelajari Hukum Hindu

Di dalam kalangan masyarakat selalu timbul pertanyan yang mengarah pada Hukum Hindu, bahkan tidak masyarakat saja yang mempertanyakan akan tetapi Mahasiswa itu sendiri masih bertanya tentang Hukum tersebut.Mengapa perlu kita mempelajari hukum hindu dan mengapa masyarakat hindu yang merupakan bagian dari pada penduduk Indonesia tunduk pada hukum agama yang di anutnya, bersumber pada hukum bagi kemungkinan dapat tidaknya di perlukan hukum agama bagi masyarakat hindu.
Tingkah laku manusia adalah perwujudan riil dari pada sikap Hindu dan pandangan bangsa berdasarkan undang-undang Dasar 1945 dan pancasila yang akan mempengaruhi pula tingkah laku manusia dalam berbuat sesuai menurut landasan konstitusional itu.Bangsa Indonesia mencerminkan dalam Falsafah bangsa yang di sebut dengan Pancasila. Panpres No. 1 Th. 1965 yang telah di undangkan menjadi undang-undang No.5 Th. 1969, tentang pencegahan terhadap penodaan dan atau penyalahgunaan terhadap Agama, di dalam penjelasannya pasal demi pasal itu mengkonstatir nama-nama agama sebagaimana yang terdapat di Indonesia seperti misalnya agama-agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha.Sebaliknya jika kita lihat lembaran sejarahkeagamaan di Indonesia akan tampak adanya pertumbuhan agama-agama di Indonesia secara berturut-turut adanya agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Katolik.Dari sejarah perkembangan agama itu sangat dapat mempengaruhi sikap mental bangsa Indonesia di bidang spiritual sedangkan sebagai akibat dari adanya kolonialisme dalam masa penjajahan bangsa barat dan timur seperti belanda, prancis, inggris, portugis, hindia dan jepang itu menimbulkan benih-benih semangat perjuangan yang tinggi yang anti penjajahan dan merindukan kedamaian persatuan dan kesatuan kelak mencapai impian bangsa Indonesia dalam membangun rumah tangga bangsa yang merdeka, berdaulat serta berbudi pekerti yang luhur.
Di dalam ilmu hukum sebagailmana telah di kemukakan dalam pendahuluan, di Indonesia pada hakikatnya terdapat 3 kategori hukum materiil, yaitu:
  1. Hukum materiil yang dapat di kelompokkan pada hukum adat
  2. Hukum materiil yang dapat di kelompokkan pada hukum agama Islam
  3. Hukum materiil yang dapat di kelompokkan pada kelompok hukum perdata Barat (B.W) dimana dalam kelompok ini di masukkan pula hukum perdana
Menurut Prof.Dr.Van Den Berg, bahwa hukum agama dan hukum adat murni yang berkembang, dengan demikian maka hukum adat itu dapat kita bedakan antara lain adalah:
  1. Kaedah-kaedah hukum adat murni, baik berkembang maupun yang belum berkembang. Dalam hal ini tidak terdapat pengaruh unsure agama.
  2. Kaedah-kaedah hukum agama hindu yang isi dan bentuknya ada masih bersifat murni dan ada pula yang di kembangkan dan di sesuaikan menurut adat istiadat setempat (desa drsta).
Dengan adanya pengembangan pengertian hukum atau sebagaimana kita lihat, maka pembagian hukum yang terdapat di Indonesia tepatnta dapat kita bagi atas empat kelompok hukum yaitu:
  1. Kelompok hukum adat murni
  2. Kelompok hukum hindu yang lazim di sebut dengan dharma
  3. Kelompok hukum islam
  4. Kelompok hukum B.W yang bersumber pada bentuk hukum Kanonik
Apa yang ingin di kemukakan adalah B.W. itu adalah hukum pula, sehingga dengan demikian akan tampak adanya tiga kelompok agama yang berpengaruhdalam pembentukan hukum di Indonesia yaitu:
  1. Hukum agama yang mendapat pengaruh atau bersumber pada agama hindu
  2. Hukum agama yang bersumber pada Hukum islam
  3. Hukum agam yang bersumber pada hukum kanonik atau nasrani
Secara hitoris pertumbuhan hukum-hukum keagamaan itu meliputi masa yang luas seperti:
  1. Abad III masehi- abad XIV masa proses pertumbuhan hukum hindu
  2. Abad XIV masehi- abad XVI merupakan masa pertumbuhan hukum islam. Pertumbuhan hukum islam ini kemudian agak terganggu sebagai akibat dari keadaan politik di daerah Indonesia mulai dari abad XVI-XIX
  3. Abad XVII/XVIII masehi-XIX merupakan masa pertumbuhan hukum kanonik dan mencapai puncaknya pada abad ke XX, setelah berlakunya UUD.45.
Sebagai akibat dari pada kemajuan-kemajuan yang telah di capai dan makin banyaknya terjemahan dan gubahan-gubahan hukum agama hindu, maka makin berkembanglah di seluruh kawasan wilayah kerajaan hindu Indonesia.Diantara buku-buku yang banyak di sebut oleh peradilan kerta di dalam memutuskan perkara-perkara adat atau delik adat antara lain terkenal nama-nama buku seperti Siwasasana, Kuttaramanawa, Adigama, Purwa digamma, Agama, Manusa sesana Saramuscaya dan silakrama. Lontar-lontar ini masih tersimpan di Gdung Kertya di bali dan rumah-rumah penduduk di bali dan Lombok.
Menurut Bapak Suryono Wignyodipuro S.H dalam bukunya berjudul “ Pengantar Azaz-azas Hukum adat”,di dalam tulisannya mengutip pendapat Leker yang menulis Het Hindoe Recht in Indonesia, telah menyimpulkan secara keliru karena menganggap hukum hindu seolah-olah tidak menjamah pada masyarakat. Pandangan yang keliru seperti itu, karena justru tidak di dasarinya bahwa hukum adat yang berlaku di bali di anggap bukan sebagai hukum agama. Pandangan seperti ini terjadi dan mungkin terjadi sebagai akibat kurang di meengertinya hukum hindu itu sendiri. Oleh karena apa yang di kemukakan oleh beliau ada apa yang di kemukakan oleh Van Vollenhoven dalam hukum adatnya adalah sebagai akibat kurang pengertian tentang dasar hukum hindu dan kaedah-kaedah hukum hindu yang berlaku dalam mmasyarakat hindu.Berdasarkan uraian di atas betapa besarnya peranan hukum agama, termasuk peranan hukum hindu, sebagai sumber yang menjiwai pandangan dan sikap hidup bangsa Indonesia yang kita kenal dengan nama pancasila itu, yang menyatakan bahwa pancasila sebagai landasan hukum yang bersifat riil.
Dengan melihat pokok-pokok persoalan sebagaimana telah di kedepankan di atas, akhirnya dapat di simpulkan bahwa sumber hukum bagi berlakunya hukum agama itu, termasuk pula hukum sebagaimana telah di kemukakan di atas, pembuktian sumber hukumnya dapat di kemukakan berdasarkan;
  1. Sumber historis
  2. Sumber perundang-undangan Negara
Dalam hal peninjauan berdasarkan sumber perundang-undangan Negara republic Indonesia, masa sumber-sumber hukum bagi berlakunya hukum agama, termasuk pula hukum hindu itu, secara berturut-turutbersumber pada:
  1. Undang-undang dasar 1945
  2. Ketetapan MPR
  3. Undang-undang
  4. Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang
  5. Peraturan pemerintah
  6. Keputusan presiden
  7. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya
Adapun undang-undang dasar 1945 sebagai dasar bagi berlakunya hukum agama, termasuk pula sebagai dasar bagi berlakunya hukum hindu karena dengan perundang-undangan dasar Negara itu, berlakunya hukum agama adalah sebagaimana pula berlakunya hukum lainnya di mana undang-undang dasar dari Negara itu sendiri di anggap sumber bagi berlakunya perundang-undangan dalam Negara. Karena kedudukannya terhadap UUD 45 sebagai sumber hukum,UUD 45 memuat 2 aspek hukum yaitu:
  1. Sebagai aspek pandangan hidup bangsa atau falsafah Negara, tercantum di dalam Mukadimah UUD 45
  2. Sebagai landasan strikturil (konstitutionil) merupakan UUD 45
Antara Mukadimah UUD 45 dewngan pasal-pasal dari pada undang-undang dasar 1945, tidak dapat pertentangan melainkan justru pasal-pasalnya bertujuan untuk merumuskan pokok-pokok landasan hukum bagi memungkinkan terwujudnya hasrat yang terkandung dalam cita-cita pancasila sebagai bagian dari pada cita-cita bangsa Indonesia di dalam menegakkan kemerdekaannya.
Kepercayaan atas Tuhan yang maha esa tidak hanya percaya akan adanya tuhan tetapi juga mencakup asas memperlakukan hukum-hukumnya sebagai pedoman yang mengikat bagi para umatnya karena justru predikat seseorang menganut salah satu dari pada agama itu sendiri adalah di lihat dari kuasa hukum agama yang berlaku atas dirinya. Kerena itu, bagaimana juga kaedah-kaedah hukum agama itu tercakup tiga bentuk norma yang bersifat wajib dengan bentuk perintah-perintah, yang memuat kaedah-kaedah hukum yang bersifat melarang dengan ancaman hukum kalau di langgar dan kaedah-kaedah hukum yang bersifat fakultatif atau kebolehan. Dengan demikian maka kaedah agama itu dasarnya adalah terbentuk kaedah-kaedah hukum yang mengikat umatnya dan di jadikan dasar dalam segala tingkah laku mereka sehari-hari. Adapun kitab suci yang merupakan dasar bagi pandangan hidup seseorang penganut agama itu, adalah karena kitab suci memuat ajaran dan aturan yang harus di indahkan oleh setiap umat Bergama. Oleh karena itu, sebagaimana halnya mereka menundukkan diri mereka pada kitab suci yang menjadi pedoman dasar bagi agama itu sendiri.Oleh karena itu dengan melalui landasan perundang-undangan dapat di nyatakan bahwa berlakunya kaedah-kaedah hukum agama itu sendiri secara formal telah di tampung untuk di perlakukan sebagai undang-undang melalui dasar-dasar hukum yang sah.
Adapun beberapa tugas pokok di bidang pembangunan hukum sebagaimana tampak menurut GBHN. Tap MPR No IV/MPR/1973 Unit C (e) antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Ketahanan nasional adalah mutlak perlu dalam melaksanakan cita-cita proklamasi kemerdekaan 1945, menuju masyarakat adil dan makmur, materiil dan spiritual berdasarkan pancasila di dalam wadah Negara kesatuan republic Indonesia yang merdeka berdaulat dan bersatu, dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka bersahabat, tertib dan damai.
  2. Ketahana nasional itu harus di wujudkan di segala bidang kehidupan yaitu di bidang-bidang ideology, politik, ekonomi hukum, agama, kepercayaan kepada tuhan yang maha esa, social, budaya dan pertahanan keamanan yang berlandaskan idiil pancasila dan konstitusi UUD1945.
Memperhatikan rumusan itu, maka di dalam pembangunan di bidang hukum yang bersifat nasional tidak dapat di elakkan bahwa untuk itu kita harus selalu memperhatikan kaedah hukum agama. Tentang penegasan yang menunjukkan agama berdiri sendiri dari kepercayaan kepada tuhan yang maha esa menunjuk pada suatu pengertian bahwa antara agama dan kepercayaan pada tuhan yang maha esa adalah tidak sama.Adapun perlunya studi hukum agama ini terutama di dasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
  1. Tap MPR X/MPR/1973 menjamin terlaksananya pasal 1 dan 4 UUD 45, yaitu dalam rangka membina kesatuan bangsa dalam wadah Negara kesatuan
  2. Tap MPR No. X/MPR/1973 menjamin pula berlakunya Tap. MPR No.6/MPR/72.No.I/MPR/1973 No.IV/MPR/1973 dan No. IX/MPR/1973
Pengkaitan agama dalam berbagai produk perundang-undangan banyak kita jumpai sehingga dengan demikian dapatlah kita konstatir tentang pengaruh pikiran-pikiran agama dan keagamaan di dalam pembuatan undang-undang. Untuk membuktikan betapa besarnya pengaruh agama dalam berbagai perundang-undangan dapat kita tunjuk beberapa contoh perundang-undangan yakni:
  1. Ordonasi Tgl. 15 12 1933 Stb. 1933 No. 74 jo. 1936 No. 247 dan 605 yang di rubah dengan Stb 1938/264 dan 370, 1939/288 dan 1946/136 yang kemudian di cabut pasal-pasalnya.
  2. UU. No 5 Th 1960 yaitu UUPA, secara tak langsung menyebut pula dalam beberapa pasalnya masalah hukum agama.
  3. Panpres No. 1/1965 yang telah di undangkan menjadi UU. No. 5 Th. pengertian akan perlunya pengethauan kaedah hukum agama.
  4. UU. No. 1/74 yaitu undang-undang tentang perkawinan.
  5. Paswara yaitu semacam perundang-undangan Negara pula pernah berlaku dan masih berlaku hingga sekarang,dasarnya dan bentuk isinya adalah merupakan keputusan raja atau pemerintah yang mempunyai kedudukan sebagai UU.




    1. Keberadaan dan Penataan Hukum Hindu di Indonesia

Para pakar hukum memandang perlu untuk mempersoalkan tentang keberadaan hukum hindu di Indonesia serta perlu penataan kembali atas hukum hindu itu sendiri. Pandangan ini memang tepat, mengingat umat hindu di Indonesia bukanlah kelompok yang eksklusif dan tertutup, melainkan berada sebagai bagian dari bangsa Indonesia, serta berinteraksi dengan sesame umat beragama lainnya, lebih-lebih lagi jika di kaitkan dengan perubahan dan perkembangan serta kecenderungan yang terjadi pada masa yang akan datang.
Dengan situasi yang seperti itu hukum hindu tidak bisa lepas dari pengaruh luar baik yang positif maupun yang negative, maupun yang dari perubahan yang terjadi dikalangan intern umat hindu sendiri.Dengan demikian tidak dapat di sangkal bahwa hukum hindu pun mengalami perubahan, dari perubahan yang paling mendasar maupun perubahan yang tidak prinsip.
Persoalan-persoalan di atas tidak bisa di jawab hanya dengan satu atau dua kalimat ataupun di jawab dengan jawaban yang merupakan hasil imajinasi,melainkan harus di lakukan dengan suatu penelitian ilmiah, yang mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama. Penelitian ilmiah tidaklah cukup membaca kitab-kitab suci hindu, tetapi juga harus di hubungkan dengan kenyataan dalam masyarakat (umat hindu).
Tanpa mengecualikan atau mengurangi arti dan makna persoalan-persoalan lain yang tidak di ungkapkan di sini, kiranya masalah-masalah prinsip seperti di uraikan di atas yang berkenaan dengan “keberadaan hukum hindu” ini saja sudah merupakan pekerjaan besar. Oleh karena itu seperti kita ketahui umat hindu di Indonesia sebagai warga Negara Indonesia juga tunduk dengan hukum nasianal maupun hukum adatnya masing-masing, dalam beberapa hal, semuanya itu juga merupakan hukum positif dan hukum yang hidup serta harus di taati oleh siapapun itu.
Sebenarnya kalau kita berbicara tentang hukum hindu maupun hukum-hukum lainnya yang berlaku di Indonesia, seyogyanya di arahkan pada suatu arah dan tujuan yang lebih luas dan besar. Tegasnya harus di kaitkan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, persoalan hukum maupun persoalan lain yang ada atau terjadi dalam Negara Indonesia tidak dapat di lepaskan begitu saja dari pembangunan nasional seperti telah di rumuskan dalam ketetapan Majelis Permusyawarahan Rakyat No: II/MPR/1988 tentang garis-garis besar haluan Negara.
Salah satu butir dari pembangunan nasional itu adalah pembangunan dalam bidang hukum, yang pada dasarnya menyatakan bahwa pembangunan dan pembinaan dalam bidang hukum hindu di maksudkan untuk di abadikan bagi kepentingan nasional. Sebenarnya kalau di telusuri secara lebih mendalam, usaha untuk mewujudkan, membangun dan membina suatu hukum nasional yang berlaku bagi tumpah darah Indonesia, sudah sejak lama di laksanakan. Inilah salah satu yang di amanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Peradilan adalah benteng terakhir dalam proses penegakan hukum dan keadilan “ Demikian ungkapan umum yang bergema dalam masyarakat. Apabila ungkapan ini di asumsikan sebagai benar demikian, dapatlah di artikan bahwa sebelum satu masalah (perkara) di ajukan kehadapan pengadilan sepatutnya suatu masalah atau perkara itu di selesaikan secara musyawarah dan damai di luar pengadilan, kecuali untuk perkara pidana yang bukan merupakan delik aduan. Akan tetapi hal yang lebih penting bahkan amat penting yakni meningkatkan kesdaran hukum masyarakat termasuk umat hindu, supaya masyarakat hindu agar benar-benar mentaati dan menerima secara lahiriah dan batiniah dalam hal hukum tersebut. Dalam hal ini termasuk pula kesadaran hukum masyarakat umat hindu terhadap hukum hindu. Dengan demikian dapat di harapkan bahwa masalah atau perkara-perkara yang di ajukan ke pengadilan hanyalah masalah yang benar-benar tidak bisa lagi di selesaikan secara musyawarah dan damai
Selain dari pada hal-hal seperti di uraikan di atas, ada lagi hal-hal yang juga tidak kalah pentingnya, jika peradilan agama hindu itu harus di realisasikan, seperti misalnya:
  1. Masalah yuridiksi dan kompetensi dari peradilan agama hindu tersebut, misalnya jenis perkara apa saja yang harus menjadi kompetensinya.
  2. Masalah hukum acara yang akan di pakai, apakah menggunakan hukum acara sendiri ataukah hukum acara secara perdata.
  3. Masalah kualifikasi dari hakim-hakim dan peniteranya.
  4. Masalah eksekusi atau putusannya.
  5. Masalah perangkat keras dan perangkat lunaknya, yang menbutuhkan biaya yang cukup banyak untuk membangun dan membina semua itu.

Seandainya cukup alasan untuk merealisasikan peradilan agama hindu, langkah yang harus di tempuh masih cukup panjang. Hal ini terutama di sebabkan oleh karena pembentukan suatu badan peradilan harus denga undang-undang. Tegasnya sebagaimana di atur dalam pasal 24 undang-undang dasar 1945 ayat (1) dan ayat (2) yang masing-masing menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman di lakukan oleh sebuah mahkamah agung, badan kehakiman menurut undang-undang, serta susunan dan kekuasaan badan-badan kehkiman itu di atur dengan undang-undang. Ketentuan ini jelas bersifat imperative, dalam arti bahwa tidak mungkin ada badan peradilan swasta atau badan peradilan yang di bentuk berdasarkan pada peraturan yang derajatnya lebih rendah dari pada undang-undang.
Khusus bagi umat hindu di daerah bali, mayoritas dari umat hindu di Indonesia, apakah perkara-perkara adat atau yang menyangkut agama (hindu) tidak cukup diajukan kehadapan pengadilan umum (pengadilan negeri,pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung)? Kalau misalnya pengetahuan para hakim peradilan umum tersebut dalam bidang hukum adat bali maupun hukum (agama hindu). Dianggap masih kurang, sebaiknya mereka di berikan penataan untuk meningkatkan pengetahuan mereka oleh instansi atau lembaga yang berwenang.

    1. Eksistensi Hukum Hindu di Indonesia

Mengengenai konsepsi hukum hindu ini, dalam makalah seminar (cendikiawan hindu Indonesia, 16-17sepetember 1988) telah di uraikan secara panjang lebar terutama sekali dalam bagian mengenai tinjauan umum tentang hukum hindu. Namun apa yang di sajikan di dalam uraian tersebut menurut hemat pembahas belum memberikan ketegasan mengenai apa yang sebenarnya hukum hindu itu. Paling tidak, belum ada kejelasan mengenai konsepsi hukum hindu yang di gunakan oleh pemasaran. Di dalam makalah terlihat penggunaan konsepsi hukum hindu sebagai nilai, sebagai hukum alam yang bersifat abadi, sebagai hukum positif yang tercermin dalam perundang-undangan. Di dalam Dharma terkandung pedoman hidup bertingkah laku sebagai umat beragama (hindu), sehingga dengan demikian mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, yaitu mengikuti pelaksanaan keagamaan. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu di telusuri lebih lanjut yaitu yang mana dari sumber-sumber tersebut benar-benar sebagai sumber hukum bagi umat hindu. Menurut hemat pembahasan sumber yang jelas bagi umat hindu adalah weda dan smerti karena banyak bentuknya yang tertulis dan dapat di pandang sebagai sumber yang di peroleh langsung dari wahyu Tuhan. Sedagkan yang lainnya seperti acara dan atmanastuti lebih banyak menunjukkan identitasnya sebagai sumber dalam kehidupan beragama (dharma dalam arti sempit)
Berpegang pada uraian di atas maka, hukum hindu sudah seyogyanya di arahkan kepada pengertian sebagai pedoman bertingkah laku bagi umat hindudalam pergaulan masyarakat, yang bersumber pada kitab suci agam hindu yang dalam pelaksanaannya dapat di paksakan oleh masyarakat atau melalui suatu lembaga yang di bentuk oleh masyarakatnya. Mengenai keberadaan hukum hindu dalam tiga aspek tersebuttampaknya hanya melihat wujud ataupun peran dari hukum hindu tersebut di atas tampaknya hanya melihat wujud ataupun peran dari hukum hindu tersebut sebagai nilai-nilai hidup dalam masyarakat yang membentuk karakternyasebagai insane yang baik dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu memperhatikan ajaran-ajarannya. Demikian pula kaitannya dengan pembangunan , pemasaran hanya menetapkan sumber hukum hindu sebagai pembentuk sikap moral dari penganut agama hindu dalam mendukung pembangunan di Indonesia sejalan dengan GBHN. Dalam hubungan ini kiranya perlu di kemukakan wujud yang lebih konkrit dari hukum hindu dalam bentuk prinsip-prinsip hukumnya yang dapat di jadikan dasar atau pegangan dalam kehidupan.
Dalam pembahasan mengenai pengaruh hukum hukum terhadap hukum adat khususnya di bali dan Lombok, pemasaran tampaknya menerima pendapat bahwa hukum adat di kalangan masyarakat hindu di bali dan di Lombok itu sebenarnya adalah hukum hindu, terutama sekalai yang meyangkut bidang waris hukum pidana (adat delict), dalam bidang hukum perdata khususnya hukum waris, hukum perkawinan dan kekeluargaan. Pandangan pembahas di atas di kemukakan sehubungan dengan adanya teori mengenai resepsi hukum agama oleh hukum adat yang di kemukakan oleh Fan den Borg dan Salmon Koyzor dengan nama “teori reception in complxu” (pemerintah dalam keseluruhan). Menurut teori ini hukum adat merupakan suatu golongan masyarakat adalah hasil penerimaan bulat-bulat dari hukum agama yang di anut oleh golongan masyarakat itu (Iman Sudyat, 1981). Teori ini sangat di tentang oleh para hukum adat seperti Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje serta Ter Haar yang padsa akhirnya memberikan kesimpulan hanyalah bidang hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris ada pengaruh dari hukum agama namun bukan sepenuhnya hukum agama. Hal ini di sebabkan karena hukum adat memiliki dua unsure yaitu unsure asli dan unsure agama. Unsur asli yaitu yang bersumber pada budaya masyarakat yang menempati bagian terbesar dari hukum adat tersebut, sedangkan unsure agama sebagaian kecil saja (Boleman B. Taneko, 1881). Prof Hazirin sebagai tokoh islam bahkan secara keras menentang teori ini dengan mengatakan sebagai teori iblis.
Apabila di simpulkan hukum adat khususnya di bali dan di Lombok yang berlaku bagi umat hindu mendapat pengaruh dari agama hindu, terutama sekali yang menyangkut bidang hukum kekeluargaan, perkawinan dan warisan. Dengan kesimpulan ini maka sudah tentu hukum yang berlaku di kalangan umat hindu akan lebih menampakkan dirinya sebagai hukum asli (hukum adat) dengan corak khas hindu. Pada sisi lain kita perlu juga melihat kenyataan yang ada pada masyarakat hindu baik di bali maupun di Lombok, terutama yang menyangkut persepsi anggota masyarakat mengenai hukum yang perlu bagi mereka. Sejauh pengamatan kami maka masyarakat hukum yang sudah di warisi sejak dahulu dan mereka mempunyai resepsi bahwa hukum hindu yang berlaku tersebut adalah hukum adat dengan memiliki corak kehidupan (hinduistis)




BAB III
PENUTUP

    1. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari penulisan makalah ini yakni bahwa Hukum adalah sesuatu yang sangat penting di terapkan di masyarakat terutama atau khususnya masyarakat yang HINDU DI BALI hal ini dapat mencerminkan sikap dan perilaku yang muncul dalam masyarakat manusia itu sendiri dalam perwujudan riil pada sikap dan selalu berpandangan bahwa suatu masyarakat bangsa pada umumnya harus berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila yang akan mempengaruhi sikap mental suatu masyarakat.
    1. SARAN
Adapun saran dari penulisan makalah ini yakni semua pihak atau masyarakat bali khususnya agar mentaati hukum atau kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat,guna untuk mensejahterakan masyarakat agar tidak terjadinya juga ketumpang tindihan antara polemik-polemik permasalahan di masyarakat yang ada, serta seandainya ada permasalahan yag terjadi di masyarakat agar cepat di musyawarahkan secara kekeluargaan.!

No comments:

Post a Comment